ISU, TANTANGAN DAN MASA DEPAN PENDIDIKAN JASMANI DAN OLAHRAGA
Abstract
Dari survey yang dilakukan oleh Pusat Kesegaran jasmani Depdiknas, diperoleh informasi bahwa hasil pembelajaran Penjas di sekolah secara umum hanya mampu memberikan efek kebugaran jasmani terhadap kurang lebih 15 persen dari keseluruhan populasi siswa. Sedangkan dalam penelusuran sederhana lewat test Sport  Search dalam aspek yang berkaitan dengan kebugaran jasmani siswa SMU, siswa Indonesia rata-rata hanya mencapai kategori "Rendah" (Ditjora, 2002). Hal tersebut perlu mendapatkan perhatian kepada kita, bahwa mutu kebugaran jasmani siswa sekolah dari seluruh jenjang pendidikan di Indonesia  masih tergolong sangat rendah.
Rendahnya mutu hasil pembelajaran pendidikan jasmani pun dapat disimpulkan dari keluhan masyarakat olahraga yang mengindikasikan bahwa mutu bibit olahragawan usia dini dari sekolah-sekolah kita sangat rendah. Keluhan ini dapat dikaitkan dengan dua hal. Pertama, para calon atlet kita rata-rata mengandung kelemahan dalam hal kemampuan motoriknya, dari mulai kecepatan, kelincahan, koordinasi, keseimbangan, dan kesadaran ruangnya; kedua, para calon atlet kita pun sekaligus memiliki kekurangan dalam hal kemampuan fisik (kebugaran jasmani), terutama dalam hal daya tahan umum, kekuatan, kelentukan, power, dan daya tahan otot lokal.
Ukuran keberhasilan kinerja atau efektivitas PBM Penjas tersebut dinilai dari aspek lain yang seharusnya terintegrasi dalam Penjas. Sebagai contoh kualitas proses yang seharusnya dapat terlihat dari Penjas yang baik,  bagaimana guru menerapkan model pengembangan disiplin, pengajaran yang bernuansa DAP (Developmentally Appropriate Practice), kesadaran guru dalam mengembangkan bukan hanya aspek fisik dan motorik, tetapi aspek kognitif dan mental sosial serta moral anak, yang dipercayai oleh para ahli dapat mengembangkan nilai-nilai dan karakter positif pada diri anak.
Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa mutu hasil pembelajaran penjas di Indonesia bisa sedemikian rendah. Apakah karena faktor guru yang juga kualitasnya rendah, ataukah disebabkan faktor lain seperti sarana dan prasarana yang tidak memadai? Ataukah semua kelemahan ini harus dialamatkan pada kurikulum yang tidak relevan, serta kurangnya dukungan dari pemerintah dan masyarakat dalam hal pentingnya pendidikan jasmani? Untuk menjawab pertanyaan tersebut tidaklah mudah. Diperlukan penelusuran cermat yang melibatkan berbagai alat telaah multidisipliner, baik yang melibatkan tinjauan dari aspek filosofis, sosiologis, psikologis, budaya, ekonomi serta politik. Dalam wilayah akademik, kita dapat mendekati permasalahan ini dalam hubungannya dengan kemampuan guru dan kurikulum yang diberlakukan dalam program Penjas di Indonesia. Kemampuan guru harus ditelusuri dari segi nilai acuan (value orientation) (Jewet and Bain, 1995) mereka terhadap program yang menjadi tanggung jawabnya selama ini, sedangkan masalah kurikulum dapat dikaji dalam kaitannya dengan kemampuan sebuah kurikulum sebagai sebuah dokumen dalam memberikan keleluasaan kepada guru untuk melakukan interpretasi dalam hal pelaksanaannya.